Kaidah bid'ah versi Wahabi :
Setiap ibadah yang hanya berdasarkan kepada hadits yang palsu adalah bid’ah.
Praktek kaidah ini:
Diantara contoh kaidah ini adalah:
- Sholat nishfu sya’ban dan
- Sholat raghaib.
Contohnya juga adalah bertawassul dengan kedudukan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, karena haditsnya adalah maudlu' (palsu) sebagaimana yang di jelaskan oleh Syaikh Al Bani rahimahullah dalam silsilah hadits dla’if no 22, dan dianggap bid'ah oleh Al-Imam Abu Hanifah dalam kitan Al-Fiqhul Akbar.
"""""""""""""""""""""
TANGGAPAN
""""""""'"''""""""""
Kami juga sependapat bahwa ibadah yang hanya berlandaskan kepada hadits maudlu' adalah bid'ah, sebagaimana yang dapat kita jumpai di kutubussalaf khususnya Madzahib Al-Arba'ah.
Cuma contoh yang ditampilkan perihal tawassul dengan " jah (pangkat/kedudukan) nabi adalah bid'ah, kami kurang setuju.
Memang benar bahwasanya hadits yang berbunyi:
ﺗﻮﺳﻠﻮﺍ ﺑﺠﺎﻫﻲ ﻓﺈﻥ ﺟﺎﻫﻲ ﻋﻨﺪ ﷲ ﻋﻈﻴﻢ
"Bertawassullah kalian dengan dengan kedudukan (pangkat)ku, karena sungguh kedudukanku itu agung di sisi Allah"
Adalah hadits maudlu' sebagaimana komentar Albani. Namun yang perlu diketahui, bukan hadits tersebut yang kami buat hujjah untuk melegalkan tawassul, tapi hadits yang menceritakan bahwasanya disaat Fatimah binti Asad bin Hisyam (ibunda sayyidina 'Ali) meninggal dunia, Beliau berdoa:
ﷲ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺤﻴﻲ ﻭﻳﻤﻴﺖ ﻭﻫﻮ ﺣﻲ ﻻ ﻳﻤﻮﺕ ﺍﻏﻔﺮ ﻷﻣﻲ ﻓﺎﻃﻤﺔ ﺑﻨﺖ ﺃﺳﺪ ﻭﻟﻘﻨﻬﺎ ﺣﺠﺘﻬﺎ ﻭﻭﺳﻊ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻣﺪﺧﻠﻬﺎ ﺑﺤﻖ ﻧﺒﻴﻚ ﻭﺍﻸﻧﺒﻴﺎﺀ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻣﻦ ﻗﺒﻠﻲ ﻓﺈﻧﻚ ﺃﺭﺣﻢ ﺍﻟﺮﺍﺣﻤﻴﻦ
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tabrani dari Ahmad bin Hammad bin Zaghbah dari Ruh bin Shalah dari Sufyan Tsauri dari 'Ashim Al Ahwal dari Anas bin Malik.
WAHABI: Dalam riwayat tersebut terdapat rawi yang bernama Ruh bin Shalih, beliau termasuk perawi hadits dlaif sebagaimana yang dituturkan oleh Imam Al-Hafidz Abu Ahmad Abdullah bin 'Adiy (277-365 H) ?
ASWAJA: Memang benar disitu terdapat Ruh bin Shalih, tapi mengenai status beliau masih diperselisihkan. Ibnu Hibban dan Hakim menyatakan bahwa beliau termasuk orang yang dapat dipercaya dan amanah. Sebagaimana komentar Syaikh Nurruddin Ali bin Abu Bakr Al Haitsami dalam Majmuaz Zawaidnya (9/259):
ﻭﻓﻴﻪ ﺭﻭﺡ ﺍﺑﻦ ﺻﻼﺡ ﻭﺛﻘﻪ ﺍﺑﻦ ﺣﺒﺎﻥ ﻭﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻭﻓﻴﻪ ﺿﻌﻒ ـ ﻭﺑﻘﻴﺔ ﺭﺟﺎﻟﻪ ﺭﺟﺎﻝ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ
Dan Ibnu Hibban dalam kitab Ats-Tsiqatnya (8/244):
ﺭﻭﺡ ﺑﻦ ﺻﻼﺡ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﻣﺼﺮ ﻳﺮﻭﻱ ﻋﻦ ﻳﺤﻲ ﺑﻦ ﺃﻳﻮﺏ ﻭﺃﻫﻞ ﺑﻠﺪﻩ ﻭﺭﻭﻱ ﻋﻨﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﺍﻟﺒﻮﺷﻨﺠﻲ ﻭﺍﻫﻞ ﻣﺼﺮ
Serta ucapannya Ibn Al Bai' (w.405 H), bahwasanya ia pernah mendengar Imam Al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah Al-Hakim An-Naisaburiy berkata:
ﺭﻭﺡ ﺑﻦ ﺻﻼﺡ ﺛﻘﺔ ﻣﺄﻣﻮﻥ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺸﺎﻡ
WAHABI: Pengkategorian yang dilakukan oleh Ibnu Hibban dan Hakim adalah tidak benar bahwa Ruh bin Shalih adalah orang yang terpercaya dan amanah, sebab sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Al Baniy bahwasanya Ibnu Hibban adalah orang yang ceroboh didalam menstatuskan, lebih lebih Imam Al-Hakim. Sehingga bila penstatusan yang dilakukan oleh beliau berdua berbeda dengan ulama yang lain, maka tidak bisa untuk dijadikan pegangan.
ﺍﻥ ﺍﺑﻦ ﺣﺒﺎﻥ ﻣﺘﺴﺎﻫﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﻮﺛﻴﻖ ـ ﻓﺎﻧﻪ ﻛﺜﻴﺮﺍ ﻣﺎ ﻳﻮﺛﻖ ﺍﻟﻤﺠﻬﻮﻟﻴﻦ ﺣﺘﻲ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﺼﺮﺡ ﻫﻮ ﻧﻔﺴﻪ ﺍﻧﻪ ﻻ ﻳﺪﺭﻱ ﻣﻦ ﻫﻮ ﻭﻼ ﻣﻦ ﺃﺑﻮﻩ ؟ ﻛﻤﺎ ﻧﻘﻞ ﺫﻟﻚ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻬﺎﺩﻱ ﻓﻲ " ﺍﻟﺼﺎﺭﻡ ﺍﻟﻤﻨﻜﻲ " ـ ﻭﻣﺜﻠﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﺴﺎﻫﻞ ﺍﻟﺤﺎﻛﻢ ﻛﻤﺎ ﻻ ﻳﺨﻔﻰ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺘﻀﻠﻊ ﺑﻌﻠﻢ ﺍﻟﺘﺮﺍﺟﻢ ﻭﺍﻟﺮﺟﺎﻝ ﻓﻘﻮﻟﻬﻤﺎ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺘﻌﺎﺭﺽ ﻻ ﻳﻘﺎﻡ ﻟﻪ ﻭﺯﻥ
Dan juga sebagian hadits yang diriwayatkan oleh Ruh bin Shalih adalah hadits mungkar sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Taqiyuddin Ahmad bin Ali Al Muqriziy (766-845 H) dalam kitabnya " Mukhtashar Al Kamil Adl Dlu'afaa' (1/335)
ﺭﻭﺡ ﺑﻦ ﺻﻼﺡ ﻭﻳﻘﺎﻝ ﻟﻪ ﺍﺑﻦ ﺳﻴﺎﺑﺔ ﺃﺑﻮ ﺍﻟﺤﺎﺭﺙ ﻣﺼﺮﻱ ﻟﻪ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ ﻟﻴﺴﺖ ﺑﺎﻟﻜﺜﻴﺮﺓ ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻟﻬﻴﻌﺔ ﻭﺍﻟﻠﻴﺚ ﻭﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺃﻳﻮﺏ ﻭﻳﺤﻴﻲ ﺍﺑﻦ ﺃﻳﻮﺏ ﻭﺣﻴﻮﺓ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﻭﻓﻲ ﺑﻌﺾ ﺣﺪﻳﺜﻪ ﻧﻜﺮﺓ
ASWAJA: Apakah anda sepakat bahwa statusnya Ruh bin Shalah masih diperselisihkan oleh ulama?
WAHABI: Kami sepakat (meski dengan berat hati).
ASWAJA: Bila memang penstatusan yang dilakukan oleh Ibnu Hibban dan Imam Al Hakim anda tolak, maka perlu anda ketahui bahwa Ruh bin Shalah juga dikatakan orang yang terpercaya dan amanah oleh Al-Hafizh Abu Hatim Ar-Razi Muhammad ibn Idris ibn Al-Mundzir ibn Dawud ibn Mihran Al-Handhali.
Beliau lahir pada tahun 195 H.
Beliau seorang pakar/ahli hadits terkemuka yang sangat popular tentang keahliannya dalam meneliti illah (kecacatan) pada sebuah hadits, bagaikan seorang dokter spesialis yang biasa mendiagnosis penyakit rumit pasiennya.
Al-Imam Adz-Dzahabi berkata, “Apabila Abu Hatim telah merekomendasikan ke-tsiqah-an seorang rawi hadits maka berpeganglah dengan ucapan beliau, karena beliau adalah orang yang sangat berhati-hati dan tidak menggampangkan atau serampangan dalam memberikan penilaian. Namun, bila beliau tidak tegas dalam merekomendasikan atau mengatakan bahwa orang ini tidak dapat dijadikan hujjah maka tunggulah dan lihatlah adakah para pakar/ahli hadits yang lain telah memberikan komentarnya; apabila ada salah dari mereka yang telah merekomendasikan maka jangan terlalu melihat pada penilaiannya Abu Hatim karena beliau orang yang sangat pelit dalam merekomendasi seorang rawi, hingga terkadang banyak para perawi hadits yang terpercaya namun, beliau menilainya bahwa mereka adalah para rawi yang tidak bisa dijadikan hujjah, tidak kuat (hafalannya), atau yang semisalnya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam muqaddimah kitab Fathul Bari bahwa Muhammad ibn Adi al-Bashri adalah salah satu guru al-Imam Ahmad, bahkan Amr ibn Ali mengatakan bahwa Abdurrahman ibn Mahdi pun telah merekomendasi dan memberikan pujian kepada beliau, namun Abu Hatim justru mengatakan bahwa orang tersebut tidak bisa dijadikan hujjah. Maka perkataan Abu Hatim itu perlu ditinjau ulang, karena memang beliau adalah orang yang sangat sempit dalam member rekomendasi kepada seorang rawi.”
Bila tetap masih menyatakan bahwa hadits riwayat imam Tabraniy di atas adalah hadits dlaif, maka juga perlu anda ketahui bahwa hadits yang serupa juga diriwayatkan oleh Ibnu Abd Al-Barr dari Ibnu Abbas, dan Ibnu Syaibah dari Jabir, serta Ad Daylamiy dan Abu Nu'aim. Sehingga riwayat-riwayat tersebut bisa saling menguatkan dan dapat dijadikan hujjah dalam syariat. Sebab derajatnya hampir mendekati hadits Hasan, bahkan shahih menurut Ibnu Hibban. Sebagaimana yang dituturkan oleh Syaikh Al Hadidz Al Ghamariy dalam " Ittihaf Al Adzkiya'nya (20):
ﻭﺭﻭﺡ ﻫﺬﺍ ﺿﻌﻔﻪ ﺧﻔﻴﻒ ﻋﻨﺪ ﻣﻦ ﺿﻌﻔﻪ ﻛﻤﺎ ﻳﺴﺘﻔﺎﺩ ﻣﻦ ﻋﺒﺎﺭﺍﺗﻬﻢ ﻭﻟﻬﺬﺍ ﻋﺒﺮ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺍﻟﻬﻴﺜﻤﻲ ﺑﻤﺎ ﻳﻔﻴﺪ ﺧﻔﺔ ﺍﻟﻀﻌﻒ ﻛﻤﺎ ﻻ ﻳﺨﻔﻲ ﻋﻠﻲ ﻣﻦ ﻣﺎﺭﺱ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﻔﻦ ـ ﻓﺎﻟﺤﺎﺩﻳﺚ ﻻ ﻳﻘﻞ ﻋﻦ ﺭﺗﺒﺔ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺑﻞ ﻫﻮ ﻋﻠﻲ ﺷﺮﻁ ﺍﺑﻦ ﺣﺒﺎﻥ ﺻﺤﻴﺢ
Sekarang tinggal mau ikut siapa? Al Bani yang belajar ilmu haditsnya secara otodidaks (shahafi) atau ulama yang jelas mu'tabarnya!
WAHABI: ............ ???
Bersambung ....
Muhammad Harsandi Kudung Kanthil
PP Al Falah Ploso Mojo Kediri
11 Januari 2016
Senin, 11 Januari 2016
KAIDAH BID'AH VERSI WAHABI I
Kaidah bid'ah versi Wahabi :
Suatu ibadah yang tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya sementara pendorongnya ada dan penghalangnya tidak ada maka hukumnya bid'ah.
Penjelasan :
Ketika pendorongnya telah ada dan penghalangnya tidak ada namun tidak dilakukan oleh para shahabat, menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak disyari'atkan.
Banyak ulama yang berdalil dengan akan kebid'ahan suatu perkara dengan alasan tidak adanya shahabat yang melakukannya.
Praktek Kaidah
Diantara contoh kaidah ini adalah:
Bid'ah perayaan maulid, isra' mi'raj, dll.
Pendorong melakukan perayaan maulid adalah cinta Rasul, dan pendorong ini ada pada para shahabat, mereka adalah generasi yang paling mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Penghalangnya pun tidak ada, mereka mampu melakukan itu, terlebih mereka adalah kaum yang paling semangat kepada kebaikan. Bila hal itu baik tentu para shahabat telah melakukannya dan menjelaskannya kepada umat.
""""""""""""""""""""""""""""
TANGGAPAN
"""""""""""""""""""
Kaidah di atas adalah kaidah yang dijabarkan oleh Ibnu Taimiyyah, sebagaimana yang kami faham dalam kitab kitab beliau seputar pembahasan bid'ah.
""""""""""""""""""""""""
Praktek amalan (ibadah) yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat (atau pernah, cuma kita yang belum mengetahuinya) tidak serta merta dihukumi dlolalah (sesat). Kalau hanya diistilahkan dengan bid'ah, kami pun setuju, sebab dalam aswaja bid'ah tidak mesti dlolalah.
Dalam kaidah ushul, mungkin dari kita ada yang pernah mendengar kaidah yang berbunyi:
ﺍﻟﺘﺮﻙ ﻻ ﻳﻘﺘﻀﻲ ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ
" Meninggalkan suatu perkara tidak menunjukkan bahwa perkara tersebut sesuatu yang haram".
Artinya, para sahabat tidak melakukan suatu perkara tidak berarti kemudian perkara tersebut sebagai sesuatu yang haram.
Dan juga tidak ada hadits yang menjelaskan bahwa "tarku (meninggalkan)" ini hukumnya adalah haram atau makruh. Sehingga meninggalkan suatu perkara ini tidak bisa menetapkan hukum haram atau makruh, hanya sebatas bolehnya untuk ditinggalkan.
Hukum haram ini hanya bisa ditetapkan dengan dalil Al Qur'an, hadits, ijma' dan qiyas, sedangkan " tarku " tidak masuk dalam salah satunya.
Sebagaimana perkataan imam Syafi'i ra. :
ﻛﻞ ﻣﺎ ﻟﻪ ﻣﺴﺘﻨﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﻓﻠﻴﺲ ﺑﺒﺪﻋﺔ ﻭﻟﻮ ﻟﻢ ﻳﻌﻤﻞ ﺑﻪ ﺍﻟﺴﻠﻒ
Segala sesuatu yang ada landasannya dari syara' itu bukanlah bid'ah (dlolalah), meskipun ulama salaf tidak pernah melakukannya
Demikian, dikarenakan tidak melakukannya mereka itu mungkin tercegah oleh suatu hal, atau ada hal yang lebih utama, atau mereka belum tahu, atau mungkin tidak pernah terlintas dalam benak mereka.
Saya contohkan seperti perayaan Maulid yang tidak ada di zaman Nabi Muhammad SAW. dan ulama salaf. Apakah bisa dipastikan ketiadaan tersebut disebabkan karena haram untuk dilaksanakan. Padahal ketiadaan (peninggalan) ini tidak bisa untuk langsung divonis haram atau makruh.
Bahkan bisa saja, perayaan maulid nabi ini sudah ada sejak ulama salaf, hanya saja prakteknya tidak seperti sekarang ini yang modelnya dibuat berjamaah sehingga nampak ramai dan meriah. (Mungkin - mungkin saja).
Sehingga, sangat dini untuk memvonis mauludan adalah bid'ah dlolalah, sebab ada faktor pendorong tidak ada faktor penyegah tapi tidak pernah ditemukan dalam masanya ulama salaf.
Ingat!, metode perayaan maulud yang modelnya seperti sekarang ini bisa jadi tidak pernah terbelesit dalam benak ulama salaf. Tapi belum pernah kita temukan teks tegas dan jelas dari ulama salaf yang mengharamkan perayaan mauludan. Dan sangat gegabah menyatakan ulama salaf tidak ada satupun yang memperingati muludan meski dengan cara yang tidak sebagaimana sekarang ini.
Jangan suka menvonis hukum haram. Abdullah bin Umar ra. berkata:
إن المسلم لا يجوز له أن يتجرأ على الحكم بالتحريم الا بدليل صريح من الكتاب او السنة
Seorang muslim tidak diperkenankan baginya untuk berani-berani menghukumi haram kecuali dengan menggunakan dalil sharih dari Al Qur'an atau Sunnnah.
Ibrahim An Nakhai (tabiin) berkata:
ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻜﺮﻫﻮﻥ ﺍﺷﻴﺎﺀ ﻻ ﻳﺤﺮﻣﻮﻧﻬﺎ
Mereka (ulama salaf) tidak menyukai beberapa perkara, tapi tidak lantas mereka mengharamkannya.
Begitu juga dengan Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad, mereka sangat berhati-hati dalam menggunakan istilah " haram " pada perkara yang belum yakin dan jelas keharamannya. Paling banter mereka menggunakan kalimat " ﺍﻛﺮﻩ ﻛﺬﺍ (saya membencinya), tidak lebih.
Berhati-hatilah dalam menentukan hukum haram, sebab dikhawatirkan akan masuk dalam firman Allah SWT yang berbunyi:
ولا تقولوا لما تصف ألسنتكم الكذب هذا حلال وهذا حرام ليفتروا على الله الكذب
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.(Q S An-Nahl : 116)
Bersambung ........
M. Harsandi Kudung Kanthil
PP Al Falah Ploso Mojo Kediri
11 Januari 2016
Suatu ibadah yang tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya sementara pendorongnya ada dan penghalangnya tidak ada maka hukumnya bid'ah.
Penjelasan :
Ketika pendorongnya telah ada dan penghalangnya tidak ada namun tidak dilakukan oleh para shahabat, menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak disyari'atkan.
Banyak ulama yang berdalil dengan akan kebid'ahan suatu perkara dengan alasan tidak adanya shahabat yang melakukannya.
Praktek Kaidah
Diantara contoh kaidah ini adalah:
Bid'ah perayaan maulid, isra' mi'raj, dll.
Pendorong melakukan perayaan maulid adalah cinta Rasul, dan pendorong ini ada pada para shahabat, mereka adalah generasi yang paling mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Penghalangnya pun tidak ada, mereka mampu melakukan itu, terlebih mereka adalah kaum yang paling semangat kepada kebaikan. Bila hal itu baik tentu para shahabat telah melakukannya dan menjelaskannya kepada umat.
""""""""""""""""""""""""""""
TANGGAPAN
"""""""""""""""""""
Kaidah di atas adalah kaidah yang dijabarkan oleh Ibnu Taimiyyah, sebagaimana yang kami faham dalam kitab kitab beliau seputar pembahasan bid'ah.
""""""""""""""""""""""""
Praktek amalan (ibadah) yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat (atau pernah, cuma kita yang belum mengetahuinya) tidak serta merta dihukumi dlolalah (sesat). Kalau hanya diistilahkan dengan bid'ah, kami pun setuju, sebab dalam aswaja bid'ah tidak mesti dlolalah.
Dalam kaidah ushul, mungkin dari kita ada yang pernah mendengar kaidah yang berbunyi:
ﺍﻟﺘﺮﻙ ﻻ ﻳﻘﺘﻀﻲ ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ
" Meninggalkan suatu perkara tidak menunjukkan bahwa perkara tersebut sesuatu yang haram".
Artinya, para sahabat tidak melakukan suatu perkara tidak berarti kemudian perkara tersebut sebagai sesuatu yang haram.
Dan juga tidak ada hadits yang menjelaskan bahwa "tarku (meninggalkan)" ini hukumnya adalah haram atau makruh. Sehingga meninggalkan suatu perkara ini tidak bisa menetapkan hukum haram atau makruh, hanya sebatas bolehnya untuk ditinggalkan.
Hukum haram ini hanya bisa ditetapkan dengan dalil Al Qur'an, hadits, ijma' dan qiyas, sedangkan " tarku " tidak masuk dalam salah satunya.
Sebagaimana perkataan imam Syafi'i ra. :
ﻛﻞ ﻣﺎ ﻟﻪ ﻣﺴﺘﻨﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﻓﻠﻴﺲ ﺑﺒﺪﻋﺔ ﻭﻟﻮ ﻟﻢ ﻳﻌﻤﻞ ﺑﻪ ﺍﻟﺴﻠﻒ
Segala sesuatu yang ada landasannya dari syara' itu bukanlah bid'ah (dlolalah), meskipun ulama salaf tidak pernah melakukannya
Demikian, dikarenakan tidak melakukannya mereka itu mungkin tercegah oleh suatu hal, atau ada hal yang lebih utama, atau mereka belum tahu, atau mungkin tidak pernah terlintas dalam benak mereka.
Saya contohkan seperti perayaan Maulid yang tidak ada di zaman Nabi Muhammad SAW. dan ulama salaf. Apakah bisa dipastikan ketiadaan tersebut disebabkan karena haram untuk dilaksanakan. Padahal ketiadaan (peninggalan) ini tidak bisa untuk langsung divonis haram atau makruh.
Bahkan bisa saja, perayaan maulid nabi ini sudah ada sejak ulama salaf, hanya saja prakteknya tidak seperti sekarang ini yang modelnya dibuat berjamaah sehingga nampak ramai dan meriah. (Mungkin - mungkin saja).
Sehingga, sangat dini untuk memvonis mauludan adalah bid'ah dlolalah, sebab ada faktor pendorong tidak ada faktor penyegah tapi tidak pernah ditemukan dalam masanya ulama salaf.
Ingat!, metode perayaan maulud yang modelnya seperti sekarang ini bisa jadi tidak pernah terbelesit dalam benak ulama salaf. Tapi belum pernah kita temukan teks tegas dan jelas dari ulama salaf yang mengharamkan perayaan mauludan. Dan sangat gegabah menyatakan ulama salaf tidak ada satupun yang memperingati muludan meski dengan cara yang tidak sebagaimana sekarang ini.
Jangan suka menvonis hukum haram. Abdullah bin Umar ra. berkata:
إن المسلم لا يجوز له أن يتجرأ على الحكم بالتحريم الا بدليل صريح من الكتاب او السنة
Seorang muslim tidak diperkenankan baginya untuk berani-berani menghukumi haram kecuali dengan menggunakan dalil sharih dari Al Qur'an atau Sunnnah.
Ibrahim An Nakhai (tabiin) berkata:
ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻜﺮﻫﻮﻥ ﺍﺷﻴﺎﺀ ﻻ ﻳﺤﺮﻣﻮﻧﻬﺎ
Mereka (ulama salaf) tidak menyukai beberapa perkara, tapi tidak lantas mereka mengharamkannya.
Begitu juga dengan Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad, mereka sangat berhati-hati dalam menggunakan istilah " haram " pada perkara yang belum yakin dan jelas keharamannya. Paling banter mereka menggunakan kalimat " ﺍﻛﺮﻩ ﻛﺬﺍ (saya membencinya), tidak lebih.
Berhati-hatilah dalam menentukan hukum haram, sebab dikhawatirkan akan masuk dalam firman Allah SWT yang berbunyi:
ولا تقولوا لما تصف ألسنتكم الكذب هذا حلال وهذا حرام ليفتروا على الله الكذب
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.(Q S An-Nahl : 116)
Bersambung ........
M. Harsandi Kudung Kanthil
PP Al Falah Ploso Mojo Kediri
11 Januari 2016
Langganan:
Postingan (Atom)
85. HUJAN SAAT SHALAT JUM'AT DIJALAN
📚🅜🅐🅢🅐🅘🅛 🅢🅐🅝🅣🅡🅘📿 PERTANYAAN Kang santri yang shalat jum'atnya di jalan raya tiba-tiba turun hujan. Apa yang harus dilak...
-
81. SOAL Bagaimana hukumnya menambah "wawu" ketika adzan pada lafadh أشهد أنّ محمدا رسول الله JAWAB Hukumnya tidak disunahk...
-
189. SOAL : Bagaimana hukumnya meminjam korek api atau bulpoin untuk dipakai padahal dapat mengurangi isinya ? JAWAB : Sah, karena yan...
-
PENDAHULUAN BAB I : THAHARAH BAB II : NAJASAH BAB III : WUDLU BAB IV : TAYAMMUM BAB V : MANDI BAB VI : SHOLAT BAB VII : SHOLAT...