Kaidah bid'ah versi Wahabi :
Suatu ibadah yang tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya sementara pendorongnya ada dan penghalangnya tidak ada maka hukumnya bid'ah.
Penjelasan :
Ketika pendorongnya telah ada dan penghalangnya tidak ada namun tidak dilakukan oleh para shahabat, menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak disyari'atkan.
Banyak ulama yang berdalil dengan akan kebid'ahan suatu perkara dengan alasan tidak adanya shahabat yang melakukannya.
Praktek Kaidah
Diantara contoh kaidah ini adalah:
Bid'ah perayaan maulid, isra' mi'raj, dll.
Pendorong melakukan perayaan maulid adalah cinta Rasul, dan pendorong ini ada pada para shahabat, mereka adalah generasi yang paling mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Penghalangnya pun tidak ada, mereka mampu melakukan itu, terlebih mereka adalah kaum yang paling semangat kepada kebaikan. Bila hal itu baik tentu para shahabat telah melakukannya dan menjelaskannya kepada umat.
""""""""""""""""""""""""""""
TANGGAPAN
"""""""""""""""""""
Kaidah di atas adalah kaidah yang dijabarkan oleh Ibnu Taimiyyah, sebagaimana yang kami faham dalam kitab kitab beliau seputar pembahasan bid'ah.
""""""""""""""""""""""""
Praktek amalan (ibadah) yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat (atau pernah, cuma kita yang belum mengetahuinya) tidak serta merta dihukumi dlolalah (sesat). Kalau hanya diistilahkan dengan bid'ah, kami pun setuju, sebab dalam aswaja bid'ah tidak mesti dlolalah.
Dalam kaidah ushul, mungkin dari kita ada yang pernah mendengar kaidah yang berbunyi:
ﺍﻟﺘﺮﻙ ﻻ ﻳﻘﺘﻀﻲ ﺍﻟﺘﺤﺮﻳﻢ
" Meninggalkan suatu perkara tidak menunjukkan bahwa perkara tersebut sesuatu yang haram".
Artinya, para sahabat tidak melakukan suatu perkara tidak berarti kemudian perkara tersebut sebagai sesuatu yang haram.
Dan juga tidak ada hadits yang menjelaskan bahwa "tarku (meninggalkan)" ini hukumnya adalah haram atau makruh. Sehingga meninggalkan suatu perkara ini tidak bisa menetapkan hukum haram atau makruh, hanya sebatas bolehnya untuk ditinggalkan.
Hukum haram ini hanya bisa ditetapkan dengan dalil Al Qur'an, hadits, ijma' dan qiyas, sedangkan " tarku " tidak masuk dalam salah satunya.
Sebagaimana perkataan imam Syafi'i ra. :
ﻛﻞ ﻣﺎ ﻟﻪ ﻣﺴﺘﻨﺪ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﻓﻠﻴﺲ ﺑﺒﺪﻋﺔ ﻭﻟﻮ ﻟﻢ ﻳﻌﻤﻞ ﺑﻪ ﺍﻟﺴﻠﻒ
Segala sesuatu yang ada landasannya dari syara' itu bukanlah bid'ah (dlolalah), meskipun ulama salaf tidak pernah melakukannya
Demikian, dikarenakan tidak melakukannya mereka itu mungkin tercegah oleh suatu hal, atau ada hal yang lebih utama, atau mereka belum tahu, atau mungkin tidak pernah terlintas dalam benak mereka.
Saya contohkan seperti perayaan Maulid yang tidak ada di zaman Nabi Muhammad SAW. dan ulama salaf. Apakah bisa dipastikan ketiadaan tersebut disebabkan karena haram untuk dilaksanakan. Padahal ketiadaan (peninggalan) ini tidak bisa untuk langsung divonis haram atau makruh.
Bahkan bisa saja, perayaan maulid nabi ini sudah ada sejak ulama salaf, hanya saja prakteknya tidak seperti sekarang ini yang modelnya dibuat berjamaah sehingga nampak ramai dan meriah. (Mungkin - mungkin saja).
Sehingga, sangat dini untuk memvonis mauludan adalah bid'ah dlolalah, sebab ada faktor pendorong tidak ada faktor penyegah tapi tidak pernah ditemukan dalam masanya ulama salaf.
Ingat!, metode perayaan maulud yang modelnya seperti sekarang ini bisa jadi tidak pernah terbelesit dalam benak ulama salaf. Tapi belum pernah kita temukan teks tegas dan jelas dari ulama salaf yang mengharamkan perayaan mauludan. Dan sangat gegabah menyatakan ulama salaf tidak ada satupun yang memperingati muludan meski dengan cara yang tidak sebagaimana sekarang ini.
Jangan suka menvonis hukum haram. Abdullah bin Umar ra. berkata:
إن المسلم لا يجوز له أن يتجرأ على الحكم بالتحريم الا بدليل صريح من الكتاب او السنة
Seorang muslim tidak diperkenankan baginya untuk berani-berani menghukumi haram kecuali dengan menggunakan dalil sharih dari Al Qur'an atau Sunnnah.
Ibrahim An Nakhai (tabiin) berkata:
ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻜﺮﻫﻮﻥ ﺍﺷﻴﺎﺀ ﻻ ﻳﺤﺮﻣﻮﻧﻬﺎ
Mereka (ulama salaf) tidak menyukai beberapa perkara, tapi tidak lantas mereka mengharamkannya.
Begitu juga dengan Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad, mereka sangat berhati-hati dalam menggunakan istilah " haram " pada perkara yang belum yakin dan jelas keharamannya. Paling banter mereka menggunakan kalimat " ﺍﻛﺮﻩ ﻛﺬﺍ (saya membencinya), tidak lebih.
Berhati-hatilah dalam menentukan hukum haram, sebab dikhawatirkan akan masuk dalam firman Allah SWT yang berbunyi:
ولا تقولوا لما تصف ألسنتكم الكذب هذا حلال وهذا حرام ليفتروا على الله الكذب
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.(Q S An-Nahl : 116)
Bersambung ........
M. Harsandi Kudung Kanthil
PP Al Falah Ploso Mojo Kediri
11 Januari 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
85. HUJAN SAAT SHALAT JUM'AT DIJALAN
📚🅜🅐🅢🅐🅘🅛 🅢🅐🅝🅣🅡🅘📿 PERTANYAAN Kang santri yang shalat jum'atnya di jalan raya tiba-tiba turun hujan. Apa yang harus dilak...
-
81. SOAL Bagaimana hukumnya menambah "wawu" ketika adzan pada lafadh أشهد أنّ محمدا رسول الله JAWAB Hukumnya tidak disunahk...
-
189. SOAL : Bagaimana hukumnya meminjam korek api atau bulpoin untuk dipakai padahal dapat mengurangi isinya ? JAWAB : Sah, karena yan...
-
PENDAHULUAN BAB I : THAHARAH BAB II : NAJASAH BAB III : WUDLU BAB IV : TAYAMMUM BAB V : MANDI BAB VI : SHOLAT BAB VII : SHOLAT...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar